Friday, January 13, 2012

diatas sajadah pengharapan


بسم الله الرحمن الرحيم
di atas sajadah pengharapan


‘ala as-sajjadah li rajaain
على السجدة  الرجاء

Ku bentangkan sajadah tua
أنشر السجدة القديمة

Duduk bersimpuh dengan khusyu’
بينما أجلس بوقف على ركبتي وخشوع

Ku menengadah langit-langit rumah-mu
أوجّه نظرتي إلى أعلى

Butiran-butiran dumu’ membasahi
Kedua khodz ku
القطرات من دموع تسيل على خدّيّ

Hembusan angin malam menemani kesunyian ku
Dunia terasa sepi
النفح من ريح في وقت الليل
مصاحب في مفرد لنفسي
كانت هذه الدنيا السكينة

 Beribu-ribu doa kupanjatkan
ألفظ بالألف من دعوة في ذالك الوقت  

Namun……….
Satu doa yang mampu terucap
Dari lisanku
لكن... أقدر في لفظه دعاء واحدا من لساني فقط

Ya ilahi robby………..
Tetapkanlah hamba dalam iman dan islam
Sampai ajal menjemput
يا رب...
ثبتني على الإيمان والإسلام
حتّى يجيء أجلي
(ta'lif : al-faqirah)
Read More..

Rekonstruksi Konsep I'rab

Rekonstruksi Konsep I’rab

Oleh: Prof..Dr.H.Saidun Fiddaroini, M.A.

(dosen fak.adab iain sunan ampel surabaya)

1. Kerancuan dalam Konsep I’rab
Bahasa Arab memang memiliki keistimewaan, tetapi keistimewaan itu bukan berarti suatu hal yang menimbulkan kesulitan. Dalam hal i’rab yang sering dianggap sebagai keistimewaan yang menyulitkan kemudian berusaha untuk dihindari dengan berbagai metode yang dianjurkan dalam Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyah li Ghair an’Natiqin biha (Muhadjir Shulthan: 1998) maka sebetulnya itu adalah penyelesaian manipulasi. Masalah itu akan selalu muncul selama inti permasalahan belum diselesaikan dengan tuntas. Konsep tentang i’rab harus diluruskan. I’rab selama ini masih didefinisikan sebagai taghyir (pengubahan) (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: t.t, 7) atau taghoyyur (perubahan) (Abbas Hasan: 1966,Vol.I, 69), atau atsar (gejala alamat i’rab) (Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid: t.t., Vol.
I, 39), atau juga didefinisikan sebagai bayan (keterangan tentang jabatan kata dalam kalimat)(Mahdi al-Mahzumi: 1964, 67).
Empat macam pengertian tentang i’rab tersebut merupakan hasil pengelompokan dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para penulis buku-buku ilmu nahwu selama ini. Masing-masing kelompok definisi tersebut diwakili oleh satu definisi, yang selengkapnya dikemukakan berikut ini agar dapat diketahui dengan jelas adanya kerancuan dalam pemahaman tentang i’rab selama ini.
Abbas Hasan menyebutkan bahwa:
اَلإعْرَابُ هُوَ تغيّرُ العلامَةِ التى فِى آخِرِ اللفْظِ بِسَبَبِ تغيّرِ العَوَامِلِ الداخِلةِ عَلَيْهِ وَ مَا يَقتَضيْه كلُّ عامِلٍ
(I’rab adalah berubahnya tanda di akhir kata yang disebabkan oleh berubahnya faktor-faktor yang masuk pada kata tersebut dan karena tuntutan setiap faktor yang mempengaruhinya) ( Abbas Hasan: 1966, Vol I, 69).
Abdullah bin Ahmad al-Fakihi menyebutkan bahwa:
الإعْرابُ تَغييرُ أوَاخِرِ الكَلِمِ لاخْتِلافِ العَوامِلِ الداخِلَةِ عَلَيْها لفْظًا أوْ تَقديرًا
(I’rab adalah pengubahan akhir masing-masing kata karena perbe-daan faktor-faktor yang memasukinya baik diucapkan maupun diperkirakan) (Abdullah bin Ahmad al-Fakihi: tt, 7).
Definisi i’rab yang lainnya berbeda, dikemukakan oleh Ibn Hisyam al-Anshori, demikian:
الإعْرابُ أثَرٌ ظاهِرٌ أوْ مُقَدَّرٌ يَجْلِبُهُ العامِلُ فى آخِرِ الآسْمِ المُتَمَكِّنِ وَ الفِعْلِ المُضارِعِ
(I’rab adalah gejala yang tampak nyata atau yang diperkirakan di akhir isim yang “memungkinkan” dan fi’il mudlori’ karena faktor yang mempengaruhi) (Ahmad bin Abdullah bin Hisyam: t.t, 12).
Definisi yang “terakhir” lebih panjang, demikian:
االإعْرابُ بَيَانُ مَا لِلْكلِمَةِ أوْ الجُمْلَةِ مِنْ وَظِيفَةٍ لُغَوِيَةٍ أوْمِنْ قِيمَةٍ نَحْوِيَةٍ كَكَوْنِهَا مُسْنَدًا إلَيْهِ أوْ مُضَافًا إليهِ أوْ فاعِلا أوْ مَفْعُوْلاً أوْ حَالاً أو غَيْرَ ذلِك مِنْ الوَظائِفِ التى تُؤدِّ يها الكلماتُ فِى ثنايا الجُمَلِ و تؤَدِ يها الجُمِلٌ فى ثنايا الكَلامِ.
(I’rab adalah keterangan tentang kata atau frasa (jumlah) dari segi fungsi atau nilai-nilai sintaksis, seperti keberadaan kata itu sebagai musnad ilaih (subyek), atau mudlof ilaih, atau fa’il, atau maf’ul atau hal atau lainnya dari segi fungsi-fungsi kata dalam suatu frasa atau fungsi frasa dalam suatu kalimat) (Mahdi al-Mahzumi: 1964, 67).
Perbedaan definisi bukan hanya pada redaksinya, tetapi pada substansinya. Secara singkat perbedaan itu menunjukkan belum ditemukannya hakekat i’rab. Untuk itu perlu verifikasi definisi agar dapat diperoleh hakekat i’rab.
2. Verifikasi Definisi I’rab
Definisi kelompok pertama dan kedua yang menyebutkan bahwa i’rab adalah “pengubahan” atau “perubahan” akhir masing-masing kata karena perbedaan faktor yang memasukinya, menganggap bahwa i’rab itu adalah suatu proses perubahan yang abstrak, tidak kelihatan konkret. Berubahnya akhir kata itu tidak kelihatan, tiba-tiba saja tanda i’rab itu berubah menjadi tanda i’rab yang lain.
Definisi ini menganggap bahwa i’rab itu berada di antara ketentuan tanda i’rab yang satu dengan yang lainnya. Padahal masing-masing i’rab, yakni i’rab rofa’, nashab, jir dan jazm itu adalah ketentuan setelah selesainya ‘perubahan’ itu, misalnya berubah menjadi i’rab nashab, berubah menjadi i’rab jir atau menjadi i’rab jazm atau menjadi i’rab rofa’. Jadi i’rab itu bukan berada pada saat perubahan itu tetapi pada saat ketentuan setelah selesai perubahan itu.
Pada saat perubahan itu tidak ada namanya, hanya sekedar proses perubahan saja. Kalau di visualkan maka tampak seperti pada tabel berikut ini:
Perubahan I’rab Kata Isim dan Fi’il
Kata I’rab PP I’rab PP I’rab PP I’rab
Isim Rafa’ à Nashab  Jirà à Rafa’ dst
Fi’il Rafa’  Jazmà à Nashab à Jazm dst
)àTanda panah ( adalah keadaan kata sewaktu dalam proses perubahan (PP) untuk berubah menjadi rafa’ atau nashab atau jazm atau jir dan seterusnya. Pada saat proses perubahan itu tidak ada i’rab. I’rab itu ketentuan sebelum dan setelah proses perubahan.
Jadi kelihatan jelas bahwa proses perubahan itu bukan i’rab atau i’rab itu bukan pengubahan dan juga bukan perubahan.
Dengan bahasa Arab bisa dinyatakan bahwa:
الإعْرَابُ لَيْسَِ بِتغيير و لا بتغيّر
I’rab itu ada setelah selesai perubahan. Dengan demikian tidaklah tepat menyatakan bahwa i’rab itu pengubahan atau perubahan.
Selanjutnya definisi kelompok ketiga menyatakan bahwa i’rab adalah atsar (gejala) yang dianggap berubah-ubah di akhir kata. Kelompok ketiga ini menyatakan bahwa definisi inilah yang benar dengan alasan bahwa yang berubah-ubah itu memang harakat yang ada di akhir kata. Jadi itulah yang namanya i’rab (Ahmad bin Abdullah bin Hisyam: t.t, 12). Padahal sudah disepakati oleh semua ulama nahwu bahwa harakat di akhir kata “
رجلٌ” dan “ رجلا” atau “رجلٍ “ adalah tanda i’rab, yang kadang-kadang berupa huruf bahkan membuang huruf atau dikenal dengan hadzaf, seperti dalam kata-kata berikut ini:
المسلمون, لا تتخيلوا ….
Perlu dicermati dengan seksama bahwa alamat atau tanda sesuatu itu bukan sesuatu itu sendiri. Tanda i’rab kata itu tidak sama dengan i’rab kata. I’rab adalah i’rab dan tanda i’rab adala tanda i’rab dan bukan i’rab. Dengan demikian, definisi yang menyatakan bahwa i’rab itu adalah harakat atau dinyatakan dengan (atsar) sebetulnya bukan definisi i’rab, karena memang I’rab itu bukan tanda i’rab. Dengan bahasa Arab dapat dinyatakan bahwa:
الإعراب ليس بأثر و لا بعلامة الإعراب
Jadi i’rab itu bukan atsar.
Definisi keempat menerangkan bahwa i’rab adalah bayan (keterangan). Definisi ini menekankan fungsi i’rab yang dimanfaatkan sebagai petunjuk tentang fungsi kata dalam suatu kalimat. Misalnya diketahui bahwa i’rab suatu kata itu rafa’ maka yang dipahami dari i’rab kata tersebut adalah bahwa kata itu memiliki fungsi kata-kata yang beri’rab rafa’, yang mungkin sedang berfungsi sebagai fa’il atau mubtada’ atau na’ib al-fa’il dan sebagainya.
Dengan demikian maka penyebutan i’rab rafa’ untuk kata tersebut tidak lain adalah untuk menentukan fungsi kata, yang selanjutnya dapat dipahami maksud kalimat dengan sempurna sesuai dengan fungsi masing-masing kata yang telah diketahui i’rabnya.
Definisi keempat sampai sebatas ini bisa dinyatakan sebagai definisi praktis. Orientasinya adalah kegunaan i’rab itu sendiri. Sebuah kalimat bisa dipahami maksusdnya bila fungsi masing-masing kata itu dipahami berdasarkan uraian menurut jabatannya, misalnya sebagai subyek atau mubtada’, sebagai fa’il atau maf’ul dan seterusnya. Jabatan masing-masing kata itu diketahui melalui macam i’rabnya. Macam i’rab kata tersebut menunjukkan fungsi dan jabatan kata itu dalam sebuah kalimat.
Dalam pandangan selintas tampaknya dapat dipahami bahwa i’rab itu merupakan suatu keterangan tentang fungsi kata dalam suatu kalimat. Akan tetapi definisi demikian tidak menerangkan tentang hakekat i’rab. Definisi tersebut menunjukkan guna atau faedah i’rab dalam suatu kalimat bukan hakekat i’rab. I’rab bisa digunakan untuk menerangkan fungsi kata dalam kalimat, dan fungsi atau guna ideal i’rab itu bukan hakekat i’rabnya. Jadi definisi keempat tersebut tidak menunjukkan hakekat i’rab, tetapi fungsinya.
Dari uraian-uraian tersebut di atas perlu kiranya diinsafi bahwa sampai sejauh ini sebetulnya hakekat i’rab belum dimunculkan.
Oleh karena itu tidak heran bila banyak keterangan simpang siur mengenai i’rab. Ini salah satu alasan perlu adanya kajian ulang tentang i’rab agar pembelajaran ilmu nahwu menjadi mudah tanpa harus menghindari keberadaan i’rab sepeti dalam percakapan dengan bahasa Arab Amiyah.
3. Realitas I’rab dan Fungsi Tanda I’rab
Upaya mempermudah pembelajaran ilmu nahwu dengan cara menghindari masalah i’rab, yaitu dengan cara selalu mewaqafkan dalam tiap pembacaan kata-kata dalam suatu kalimat berkaitan erat dengan anggapan bahwa ilmu nahwu itu sebagai alat untuk membaca kitab gundul. Akan tetapi cara demikian ini pada gilirannya akan tetap menemui kesulitan karena kata-kata Arab meskipun diwaqafkan tetap saja memiliki tanda i’rab dan tidak bisa dihilangkan, misalnya dalam kalimat: Ja’a al-Muslimuna (
جاء المسلمون), tetap saja ada tanda i’rabnya meskipun dibaca waqaf,.karena pada dasarnya mewaqafkan itu bukan menghilangkan tanda i’rab.
Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut kelihatan bahwa ternyata i’rab itu hanyalah sebuah istilah untuk mengklasifikasikan kata-kata Arab sehingga berada dalam klasifikasi rafa’, nashab, jir dan jazm berdasarkan pada keadaan akhir kata yang menjadi tanda i’rab (Saidun Fiddaroini: 2004, 105). Dengan penjelasan demikian maka setiap kata yang memi-liki tanda i’rab berarti ia mu’rab dan apabila kata itu tidak memiliki tanda i’rab, sehingga tidak ada bedanya meskipun diklasifikasikan dalam klasifikasi rofa’, atau nashab, atau jir atau jazm, maka kata itu disebut mabni. Jadi munculnya istilah mabni ini karena adanya usaha mengklasifikasikan kata yang tidak memerlukan klasifikasi.
Selanjutnya defini i’rab demikian menjadikan istilah alamat i’rab muqaddar atau i’rab taqdiri tidak berlaku. Tanda i’rab itu tidak muqaddar. Bila tanda i’rab itu muqaddar itu berarti berlawanan dengan namanya sendiri. Sebuah tanda itu konkret, atau hissiy atau inderawi, bisa dilihat ketika ditulis dan bisa diketahui melalui pendengaran ketika diucapkan.
Sangat jauh dari pemahaman logis ketika dinyatakan bahwa tanda i’rab itu muqaddar atau diperkirakan. Kalau diperkirakan itu berarti tidak ada tanda. Cukup saja dinyatakan kata itu tidak memiliki tanda i’rab yang membedakan ketika dalam klasifikasi rofa’ atau nashab atau jir atau jazm. Oleh karena itu kata-kata demikian ini, yang tidak memiliki tanda i’rab, apabila dii’rabi atau diklasifikasikan maka cara mengi’rabinya terbalik. Artinya, kegiatan menentukan i’rab atau klasifikasi kata itu berdasarkan pada fungsinya dalam kalimat atau posisinya dalam struktur kalimat.
Proses mengi’rabi demikian ini berarti harus mengerti dulu maksud kalimat atau fungsi kata itu dalam kalimat supaya tahu i’rabnya. Proses demikian ini proses mubaddzir yang sia-sia, karena tidak ada gunanya kata itu dii’rabi bila sudah dikatahui maksudnya. Lagi pula setelah dii’rabi atau diklasifikasi ternyata kata tersebut tetap saja tidak ada tanda yang perlu dibenahi. Ini berbeda dengan kata-kata yang memiliki tanda i’rab dimana cara mengi’rabinya berdasarkan pada tanda i’rab yang ada pada kata itu, baru kemudian diketahui fungsi kata itu dalam kalimat. Setelah diketahui fungsinya maka diketahui makna kalimat secara utuh. Dengan demikian kelihatan jelas fungsi tanda i’rab itu, yaitu untuk menunjukkan i’rab atau klasifikasi kata.
Setelah tahu i’rab suatu kata atau klasifikasi kata maka diketahui fungsi kata dalam kalimat dan dipahami maksud kalimat secara utuh. Kajian ini sekaliguis memberikan informasi tentang fungsi tanda i’rab. Adapun sebutan mabni maka istilah tersebut muncul karena adanya kata yang tidak memiliki tanda i’rab tetapi tetap saja dipaksakan untuk dii’rabi atau diklasifikasikan menjadi rofa’, nashab, jir, atau jazm. Padahal kata-kata demikian tidak memerlukan i’rab karena tidak punya tanda i’rab yang bisa membedakan. Dari sini dapat dipahami bahwa i’rab taqdiri dan mahalli adalah i’rab main-main, karena tidak ada manfaatnya sama sekali kecuali justru mempersulit dan menjadikan langkah mundur ketika sedang belajar bahasa Arab.
Bila sudah paham maksud kalimat maka tidak lagi diperlukan mencari i’rab kata itu. Boleh jadi ini yang menyebabkan orang berpendapat bahwa i’rab itu sebetulnya tidak ada. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa i’rab itu ada dan perlu. Hanya saja keberadaan dan keperluannya itu tidak harus mempersulit atau menjadikan proses pemahaman bahasa Arab itu terhambat atau mundur. Inilah gunanya konsep baru tentang i’rab yang dikemukakan dalam tulisan ini.
Dengan hadirnya konsep baru tentang i’rab ini diharapkan konsep lama sudah tidak perlu dihadirkan lagi kecuali dalam tataran wacana dan untuk tinjauan ulang. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran ilmu nahwu sesuai dengan orientasi ilmu nahwu itu sendiri sebagai gramatika, bukan sebagai alat untuk mencari-cari ketentuan i’rab suatu kata yang tidak memiliki tanda i’rab. Kata-kata dalam sebuah kalimat itu sendiri yang telah menunjukkan i’rabnya melalui tanda i’rabnya yang tidak muqaddar, baru kemudian setelah diketahui i’rabnya maka dengan ilmu nahwu dapat diketahui fungsi kata dalam kalimat tersebut, yang selanjutnya dapat dipahami maksud kalimat.
Dengan orientasi demikian maka pembahasan jelimet tentang i’rab kata dalam sebuah kalimat tidak akan terjadi, karena penentuan i’rab kata dan kegunaan ilmu nahwu itu sendiri sudah berada jauh di belakang kepala bila suatu kalimat itu sudah dapat dipahami. Dari sini dapat diinsafi bahwa pada dasarnya ilmu nahwu itu hanya diperlukan bagi orang yang berbahasa Arab sebagai bahasa kedua, bukan bagi orang yang berbahasa Arab secara otomatis seperti bangsa Arab yang memakainya sebagai bahasa ibu. Itulah guna gramatika bahasa Arab atau ilmu nahwu bagi pembelajaran bahasa Arab dalam konteknya sebagai alat komunikasi.
*)Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 104-111
____________________
Kepustakaan
Fakihi, Abdullah bin Ahmad al-, Syarh al-Fawakih al-Janiyah ‘ala Mutammimah al- Ajrumiyah (Bandung: Syirkah al-Ma’arif, t.t. )
Hamid, Muhammad Muhyiddin Abd al-, Audloh al-Masalik Ila Alfiyah Ibn Malik (Beirut: Shida, Al-Maktabah al-’Ashriyah, t.t., Vol. I)
Hasan, Abbas, An Nahwu al-Wafi (Kairo: Dar al-Maarif, 1966,Vol.I)
Hisyam, Ahmad bin Abdullah bin, Syarh Syudhur al-Dhahab (Surabaya: Al- Maktabah as-Saqofiyah, t.t.).
Mahzumi Mahdi al-, Fi an-Nahwi al-’Arabiy Naqd wa Taujih (Beirut: Shida, Al- Maktabah al-’Ashriyah, 1964), 67
Muhadjir Shulthan, Thariqah Ta’lim al-’Arabiyah Li an-Nathiqina bi al-Indonesiyah (Surabaya: Makalah disajikan di Fakultyas Adab Surabaya, 1998)
Saidun Fiddaroini, Falsafat al-I’rab (Surabaya: Lajnah al-Ta’lif Wa al-Nasyr li Nahdlati al-’Ulama’I Jawa Timur, 2004), 105.

Read More..

Penyalahgunaan Ilmu Nahwu

Penyalahgunaan Ilmu Nahwu

Oleh: Prof..Dr.H.Saidun Fiddaroini, M.A.

(dosen fak.adab iain sunan ampel surabaya)

Ada anggapan lama bahwa ilmu nahwu itu adalah alat untuk membaca tulisan gundul. Anggapan ini konkretnya dinyatakan oleh banyak pengamat ilmu ini dengan pernyataan-pernyataan sebagai berikut:”… Karena itu, agar bisa membaca dengan benar, pembaca harus menguasai tata bahasa (grammar) bahasa Arab secara matang”. ( Mundzar Fahman: 1989). Jauh sebelumnya ada yang menyatakan sebagai berikut:” Itulah sebabnya, untuk dapat membacanya (kitab-kitab gundul) seorang murid harus dapat mengenali kata demi kata dan tata bahasa Arab. (Zamakhsyari Dhofir: 1983, 29).
Anggapan bahwa ilmu nahwu sebagai alat untuk membaca kitab gundul ternyata sudah diterima dan disetujui oleh penulis buku ilmu nahwu dengan judul Al-Fath (Bimbingan Cepat Membaca Kitab Tulisan Gundul) yang isinya adalah pelajaran nahwu.(Lih: Kharisudin Aqib: 1992). Bahkan secara jelas terealisasikan bahwa ilmu nahwu itu difungsikan untuk dapat membaca kitab gundul dengan pernyataan dalam sebuah buku pelajaran nahwu dalam pengantarnya disebutkan bahwa pada saat kaedah pertama diajarkan para pelajar langsung dapat membaca tulisan gundul sederhana, yang dilanjutkan dengan pernyataan bahwa buku tersebut akan segera disusul buku lainnya untuk self study bagi mereka yang telah mengenal bahasa Arab secara acak untuk dirapikan baca gundulnya (Muhadjir Sulthon: 1998, ii).
Upaya memunculkan istilah musnad dan musnad ilaih dalam sebuah kalimat kemudian yang lain disebut sebagai takmilah harus dii’rabi nashab adalah dimaksudkan untuk mempermudah pembelajaran ilmu nahwu (Muhadjir Sulthon: 1998, iv-v).Upaya demikian ini juga tidak lepas dari adanya anggapan bahwa ilmu nahwu itu alat untuk membaca kitab gundul.
Problem yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan ilmu nahwu tersebut dapat diperhatikan pada uraian tentang proses membaca kalimat–kalimat yang tidak diharakati sebagai berikut.
Ada sebuah tulisan sederhana tidak bersyakal demikian:
(1)
تلك المدرسة جميلة .
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan dua macam bacaan yang betul, demikian:
(1.a): Tilka al-Madrosah Jamilah. Artinya: Gedung sekolah itu baik.
(1.b): Tilka al-Mudarrisah Jamilah. Artinya: Guru (perempuan) itu cantik.
Ada dua maksud berbeda yang muncul dari satu tulisan gundul. Dua maksud itu sama benarnya berdasarkan ilmu nahwu.
Contoh konkret tulisan nomor (1) tersebut ditulis untuk satu maksud, bukan untuk dua maksud sebagaimana digambarkan de-ngan bacaan-bacaan nomor (1.a) dan (1.b). Dua kemungkinan bacaan yang betul itu adalah perkiraan belaka. Sedangkan tulisan gundul itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja.
Kemudian pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada dua kemungkinan maksud untuk tulisan nomor satu (1), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (1.a) dan (1.b). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya? Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan perkiraan maksud yang bermacam-macam berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Artinya, ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang seharusnya untuk tulisan gundul nomor (1) tersebut.
Penentuan satu macam bacaan yang tepat untuk tulisan gundul nomor (1) bisa saja diperoleh dengan cara memahami dulu maksud tulisan itu, atau dengan cara memahami siyaq al-kalam, meskipun kalimat itu sudah sempurna. Kalau memang dengan cara demikian itu, yakni memahami dulu maksudnya, maka yang demikian itu berarti paham dulu maksud tulisan supaya dapat menentukan bacaannya dengan betul.
Proses membaca demikian itu, yakni paham dulu supaya dapat membaca dengan benar tulisan yang hendak dibaca adalah proses yang terbalik dan tidak logis, karena pada dasarnya tujuan membaca itu adalah untuk paham maksudnya, bukan paham dulu maksudnya agar dapat membaca tulisan itu dengan benar. Lagi pula kalau sudah paham maksud tulisan tersebut lalu untuk apa membacanya? Akan naif sekali bila mau membaca sebuah tulisan dianjurkan supaya bertanya dulu pada penulisnya, apa maksud tulisannya itu?, baru kemudian ia bisa membacanya dengan benar. Proses membaca tidak logis ini tentu saja menimbulkan suatu problem. Ini terjadi pada waktu membaca tulisan gundul dengan mempergunakan ilmu nahwu.
Ada juga tulisan lainnya demikian:
(2)
قتل الناس عثمان
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan dua macam bacaan yang betul, demikian :
(2.a): Qotala al-Nasu ‘Utsmana.
Artinya: Orang-orang itu membunuh Utsman.
(2.b): Qotala al-Nasa ‘Utsmanu. Artinya: Utsman membunuh orang-orang itu.
Ada dua maksud berlawanan yang muncul dari satu macam tulisan gundul tersebut, dan keduanya betul menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (2) tersebut juga ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana digam-barkan dengan bacaan-bacaan nomor (2.a) atau (2.b). Dua kemungkinan bacaan itu adalah perkiraan belaka, sedangkan tulisan gundul nomor (2) itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja. Kemudian pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada dua kemungkinan maksud untuk tulisan nomor (2), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (2.a) dan (2.b). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya?
Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan perkiraan maksud berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Artinya, ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang semestinya untuk tulisan gundul nomor (2) tersebut. Demikian seterusnya sebagaimana problem yang terjadi pada tulisan nomor (1).
Misalnya lagi tulisan demikian:
(3)
ما أحسن السماء
Tulisan tersebut bisa dibaca dengan tiga macam bacaan yang betul, demikian:
(3.a): Ma Ahsana al-Sama’a. Artinya: Alangkah indahnya langit itu.
(3.b): Ma Ahsana al-Sama’u. Artinya: Langit itu memperindah apa?
(3.c): Ma Uhsinu al-Sama’a. Aku tidak memperindah langit itu.
Ada tiga maksud berbeda yang bisa muncul dari satu macam tu-lisan gundul tersebut, dan ketiganya betul menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (3) tersebut ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana digambarkan dengan bacaan-bacaan nomor (3.a) atau (3.b) atau (3.c). Tiga kemungkinan bacaan yang betul itu adalah perkiraan belaka, sedangkan tulisan gundul nomor (3) itu dimaksudkan untuk mengungkapkan satu maksud saja. Sementara pembaca dengan ilmu nahwunya memperkirakan ada tiga kemungkinan maksud untuk tulisan nomor (3), yakni dengan membacanya seperti bacaan nomor (3.a) dan (3.b), dan (3.c). Tetapi maksud yang mana yang sebenarnya dikehendaki oleh penulisnya?
Pembaca tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Pembaca hanya dapat memberikan tiga perkiraan maksud berdasarkan ilmu nahwu. Ilmu nahwu tidak dapat menentukan salah satu maksud yang dikehendaki penulisnya. Lagi-lagi ilmu nahwu tidak dapat menentukan bacaan mana yang seharusnya dikehendaki oleh penulisnya. Demikian seterusnya terjadilah problem sebagaimana pada kasus tulisan gundul nomor (1).
Contoh yang lain lagi, adalah tulisan demikian:
(4)
غلقت الأبواب
Tulisan tersebut dapat dibaca dengan empat macam bacaan yang betul, demikian:
(4.a): Ghollaqtu al-Abwaba. Artinya: Aku menutup pintu-pintu itu.
(4.b): Ghollaqta al-Abwaba. Artinya: Kamu menutup pintu-pintu itu.
(4.c): Ghollaqti al-Abwaba. Artinya: Kamu (perempuan) menutup pintu-pintu itu.
(4.d): Ghulliqat al-Abwabu. Artinya: Pintu-pintu itu ditutup.
Ada empat macam bacaan berbeda (4.a), (4.b), (4.c), dan (4.d) yang bisa muncul dari satu macam tulisan gundul nomor (4) tersebut dan betul semua menurut ilmu nahwu.
Tulisan gundul nomor (4) tersebut juga ditulis untuk satu maksud, bukan untuk bermacam-macam maksud sebagaimana diperkirakan dengan bacaan-bacaan nomor (4.a) atau (4.b) atau (4.c) atau (4.d). Empat kemungkinan bacaan itu adalah perkiraan pembaca belaka karena belum tahu satu maksud yang dikehendaki oleh penulisnya. Penulisnya juga tidak mungkin bermaksud agar pembaca memilih pemahamannya sendiri dengan cara menebak-nebak seperti teka-teki, karena memang tulisan itu bukan untuk teka-teki, tetapi untuk mengungkapkan satu maksud agar dapat dipahami oleh pembacanya dengan benar apa maksud yang dikehendaki oleh penulisnya.
Kelihatan jelas bahwa ilmu nahwu tidak dapat menentukan satu bacaan yang betul sesuai dengan kemauan penulisnya. Ini artinya bahwa ilmu nahwu itu bukan alat untuk membaca tulisan gundul. Kalau ilmu nahwu dipaksakan sebagai alat untuk membaca kitab gundul maka yang terjadi adalah penyalahgunaan ilmu nahwu.
Adapun penyalahgunaan ilmu nahwu yang bisa berbahaya, adalah ketika terjadi penafsiran yang dipaksakan dengan dasar ilmu nahwu. Contohnya lafadz Basmalah yang berbunyi Bismillahi al-Rohmani al-Rohimi (
بسم الله الرحمنِ الرحيمِ . ). Kedua kata al-Rohman dan al-Rohim beri’rab Jir sebagai sifat lafdzu al-Jalalah. Dengan ilmu nahwu kedua kata tersebut bisa dibaca marfu’ atau manshub atau majrur.sehingga ada sembilan macam bacaan Basmalah yang dimungkinkan, tetapi hanya ada tujuh yang benar berdasarkan ilmu nahwu (Ahmad Zaini Dahlan: t.t, 4). Macam bacaan tersebut sebagaimana dalam tabel berikut.
Tabel Macam Bacaan Basmalah
No. Bismillahi Al-Rahman / I’rab Al-Rahim /I’rab Keterangan
1.
Bismillahi Al-Rahmani/ Jir Al-Rahimi/ Jir Benar dan resmi
2. Bismillahi Al-Rahmani/ Jir Al-Rahima/ nashab Benar sesuai kaedah
3. Bismillahi Al-Rahmani/Jir Al-Rahimu/ Rafa’ Benar sesuai kaedah
4. Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahima/ Nashab Benar sesuai kaedah
5. Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahimu/ Rafa’ Benar sesuai kaedah
6 Bismillahi Al-Rahmana/ Nashab Al-Rahimi/ Jir Salah, tidak sesuai kaedah
7. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa’ Al-Rahima/ Nashab Benar sesuai kaedah
8. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa’ Al-Rahimu/ Rafa’ Benar sesuai kaedah
9. Bismillahi Al-Rahmanu/ Rafa’ Al-Rahimi/ Jir Salah, tidak sesuai kaedah
Bismillahi al-Rohmanu al-Rohimu, atau Bismillahi al-Rohmana al-Rohima, dengan alasan sifatnya dapat dipisah atau yang disebut dalam ilmu nahwu sebagai na’at maqtu’. Masalahnya bukan bisa dibaca rofa’ atau nashob, tetapi lafadz itu semula dimaksudkan oleh Allah SWT untuk apa dengan bunyi yang bagaimana. Bunyi itu menentukan makna. Bolehkah kita mengubah kehendak Pembicara? Apalagi dalam hal ini yang berfirman adalah Allah SWT. Allah SWT menghendaki bunyi lafdz tersebut dengan i’rab jir untuk kedua kata al-Rohman dan al-Rohim.
Ketentuan bunyi itu ada maksudnya tersendiri. Sangat tidak tepat mengubah ucapan atau pembicaraan hanya karena keahlian dalam permainan ilmu nahwu. Ini merupakan penyalahgunaan ilmu nahwu secara sadar. Pengubahan bunyi demikian bisa juga terjadi pada surat Fathir ayat 28 dengan membaca lafdzu al-jalalah marfu’ dan al-’Ulama’ mansub sehingga artinya menunjukkan bahwa Tuhan itu takut pada para Ulama’, dengan penafsiran dibuat-buat supaya bisa dibenarkan, yakni takut di sini dalam arti khawatir; padahal tulisan mushaf yang ada adalah sebaliknya bahwa lafdzu al-Jalalah manshub dan kata al-’Ulama’u itu marfu’, sebagaimana ayat tersebut (QS. Fathir/35 : 28) demikian:
………
إنما يخشى اللهَ من عباده العلمـؤا ………
Yang artinya bahwa yang takut pada Tuhan hanyalah para Ulama’.
Perlu dipahami bahwa penyalahgunaan ilmu nahwu, yang menganggap bahwa ilmu nahwu itu adalah alat untuk membaca kitab gundul, juga bisa merendahkan martabat ilmu nahwu. Demikian ini karena ilmu nahwu itu menjadi tidak ada gunanya kalau tulisan bahasa Arab semua sudah sempurna dilengkapi dengan syakal, seperti Quran sekarang yang sudah sempurna lengkap dengan syakalnya, dan kitab-kitab lama yang dewasa ini sudah dilengkapi dengan syakal. Dengan anggapan seperti itu berarti sekarang ini ilmu nahwu sudah tidak berguna lagi dan tidak perlu dipelajari.
Anggapan yang bisa merendahkan martabat ilmu nahwu ini, hanya bisa muncul karena beredarnya kitab gundul. Ilmu nahwu itu sendiri juga tidak dapat menjamin benarnya bacaan atas tulisan gundul. Kalau orang mempergunakan ilmu nahwu itu untuk membaca kitab gundul, maka praktek demikian itu sama halnya dengan orang yang mempergunakan pisau untuk menancapkan sebuah paku pada tembok. Bisa saja paku itu menancap pada tembok karena ketukan pisau, tetapi pisau itu tetap saja bukan alat untuk itu. Ini terjadi penyalahgunaan dan akibatnya pisau itu bisa rusak.
Demikian juga bila ilmu nahwu itu digunakan untuk membaca tulisan gundul maka terjadi juga penyalahgunaan ilmu nahwu. Ilmu nahwu bisa rusak. Rusaknya ilmu nahwu terlihat pada orientasi penyiapan materi dan pembelajarannya. Ini bisa diketahui pada beberapa topik bahasan ilmu nahwu yang tidak perlu diajarkan.
Masalah yang muncul sebab beredarnya kitab gundul bukan pada tiadanya jaminan ilmu nahwu terhadap benarnya bacaan, karena memang bukan alat untuk membaca. Masalah itu ada pada keberadaan kitab gundul, yakni kitab yang tulisannya belum sempurna tetapi sudah dianggap sempurna. Adanya anggapan bahwa tulisan gundul itu sudah sempurna menyebabkan tiadanya perhatian yang kritis terhadap keberadaan tulisan gundul. Maka wajar bila ilmu nahwu dianggap sebagai alat untuk membaca. Oleh karena ilmu nahwu dipaksakan sebagai alat membaca, terjadilah penyelahgunaan. Akibat dari penyalahgunaan tersebut antara lain adalah proses membaca yang tidak logis dan munculnya kesan bahasa Arab sebagai momok.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006), 97-104
____________________
Kepustakaan
Aqib, Kharisudin, Al-Fath (Bimbingan Cepat membaca Kitab Tulisan Gundul ) (Surabaya: H.I Press, 1992)
Dahlan, ,Ahmad Zaini, Syarh Mukhtashor Jiddan ‘Ala Matn al-Ajrumiyah (Semarang: Matba’ah Toha Putra, t.t).
Dhofir, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1983).
Fahman, Mundzar, Upaya Meningkatkan Mutu Sarjana IAIN, dalam Jawa Pos (Surabaya: 14 Maret 1989).
Sulthon Muhadjir, Nahwu dalam Kemasan Baru (Surabaya: Penasuci, 1998)

Read More..
.