Pada awal abad ke-8 M, dalam dunia sejarah sastra Arab,
sesungguhnya kegiatan menulis prosa sudah dimulai saat dinasti Umayah berkuasa.
Ini dapat dibuktikan dengan adanya karya besar Ali bi Abi Thalib, yakni Nahj Al
Balaghah. Karya besar ini sebenarnya berbentuk prosa akan tetapi orang-orang
Arab tidak berpandangan demikian. Prosa tidak begitu berkembang disebabkan,
pada saat Dinasti Umayyah berkuasa, para penguasa terlalu menempatkan dan
memposisikan bangsa Arab dalam kegiatan di bidang sastra dan intelektual
sehingga mereka menganggap bahwa sastra Arab adalah sastra yang paling unggul
dibanding dengan sastra-sastra lainnya. Akhirnya penulisan prosa tidak begitu
berkembang karena mereka lebih berminat dan senang untuk menulis puisi
dari pada prosa. Namun keadaan ini berubah saat peralihan kekuasaan dari
Dinasti Umayyah ke tangan Dinasti Abbasiyah. Pada saat itulah prosa mengalami
perkembangan dan kemajuan. Para khalifah Abbasiyah mulai memberikan kesempatan
dan peluang kepada orang-orang non-Arab (‘Ajm) untuk ikut andil dalam kegiatan
penulisan di bidang sastra dan intelektual. Hal ini tidak seperti yang terjadi
pada masa dinasti Umayyah berkuasa, yang hanya memprioritaskan orang-orang Arab
dalam kegiatan di bidang sastra. Pada masa Abbasiyah, penulisan di bidang
sastra mulai melibatkan orang non-Arab, yang sudah menguasai bahasa Arab,
khususnya penulis Persia karena mereka juga mempunyai tradisi lama dalam
sastra, khususnya dalam penulisan prosa yang kemungkinan dapat terus
mengembangkan prosa saat itu. Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, penulisan prosa
berkembang begitu lambat karena hanya sebatas merekam, mencatat, dan
mengumpulkan hadist-hadist Nabi serta peperangan yang terjadi saat itu.
Penulisan prosa mulai berkembang pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Disebutkan bahwa sepanjang dinasti Abbasiyah, ada tiga jenis prosa yang
berkembang saat itu. Yaitu, al-Qishas (kisah), al-Maqamat, dan al-Tawq’at.
Pertama al-Qishas adalah genre sastra yang belum pernah dikenal dalam tradisi
jahiliyah walaupun mereka mempunyai cerita-cerita yang disampaikan secara
lisan. Al-Qur’an sangat mendorong dan mempengaruhi karya ini. Misalnya
kisah-kisah yang tercantum di dalamnya yakni, Qisah al-Anbiya atau kisah para
Nabi, ada pula cerita berbingkai seperti Kalilah Wa Dimnah, dll. Kedua, al-Maqamat yaitu himpunan cerita-cerita
pendek. Ketiga, al-Tawq’at yaitu genre yang digemari hingga saat ini dan
merupakan karangan yang ringkas dan indah bahasanya.Itulah tadi jenis-jenis
prosa yang tidak dibahas secara detail. Namun dalam tulisan ini sedikit banyak
hanya akan membahas salah satu contoh jenis prosa pertama yakni al-Qishas yang
ditulis dalam bentuk fabel atau cerita berbingkai yaitu Kalilah Wa Dimnah oleh Ibnu Al-Muqoffa’. Walaupun karya tersebut adalah terjemahan dari karya
Baidaba, filosof India, namun Ibnu Al-Muqoffa’ menjadikan karya tersebut
begitu masyhur tanpa mengubah makna yang terkandung di dalam karya aslinya. Hal
ini disebabkan relevansi karyanya begitu menonjol dibanding karya
penulis-penulis lain sezamannya. Karya tersebut begitu berpengaruh terhadap
perkembangan sastra Arab dan juga terhadap sastra dunia. Karya ini merupakan
prosa yang menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat dan di
dalamnya tidak hanya tersurat bacaan akan tetapi juga tersirat tuntunan. Dalam
tulisan ini terdiri dari beberapa bagian. Pertama, pendahuluan. Pada bagian
yang kedua, pembahasan yang terdiri; sejarah hidup Ibnu al-Muqoffa’ beserta
karya-karyanya, sejarah teks, sejarah terjemahan, kronologis cerita, Karya
titik temu dunia Timur dan Barat. Pada bagian terakhir, berupa kesimpulan.
Sejarah
Hidup Ibnu Al-Muqoffa’ dan karya-karyanya
Ibnu
al-Muqoffa’ hidup dan tumbuh pada saat terjadi pergolakan dan konfilk di
masyarakat. Saat itu terjadi peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayah ke tangan
Dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan terjadi banyak konflik. Maka pada saat
itu keadaan politik di dunia Islam carut-marut dengan kondisi tersebut.
Kehidupan umat Islam dan masyarakat Arab terus mengalami pergolakan yang
berkepanjangan sehingga akhirnya Dinasti Abbasiyah dapat meraih tampuk
kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Ibnu al-Muqoffa’ dilahirkan di sebuah kampung
dekat Shiraz, Persia, sekitar tahun 80 H. Ia dilahirkan dari dua darah
kebudayaan. Ayahnya, Dzazuwih berdarah Persia dan ibunya berasal dari keturunan
bangsa Arab. Maka dari sinilah ia banyak mewarisi dua kultur tersebut. Sehingga
ia bertekad untuk menjembatani dari dua peradaban tersebut, yakni peradaban
Persia dan Arab.
Sebenarnya
nama
Ibnu al-Muqoffa’ yang asli adalah Ruzbah. Ketika ia masih
muda dinamakan Kunyah Abu Amru. Namun setelah masuk Islam Ia bernama
Abdullah. Sedangkan nama Ibnu al-Muqoffa’ adalah julukan bagi ayahnya.
Dazuwih adalah ayahnya yang beragama Majuzi. Ayahnya bekerja dan mengabdi
kepada Gubernur Hajjaj Yusuf al-Thaqafi, sebagai pemungut pajak. Namun setelah
lama bekerja, ayahnya tertangkap basah menyalahkangunakan dana hasil pemungutan
pajak. Sehingga ia dihukum dera tangannya sampai lumpuh. Maka mulai saat itulah
Dazuwih dijuluki al-Muqoffa’ yang berarti Si Lumpuh. Nama itu kemudian disandarkan
kepada Ibnu al-Muqoffa’.Sejarah kehidupannya tidak banyak diketahui akan tetapi
sedikit banyak disebutkan dalam beberapa literarur bahwa Ibnu al-Muqoffa’
dikenal sebagai sosok yang memilki kepribadian yang agung dan terpuji, luas
pengetahuannya, dan ia juga dikenal sebagai pribadi yang terpadu dan memiliki
latar budaya Islam yang luas serta seorang pemikir yang menjembatani antara
perdaban Persia dan Arab. Ia juga menguasai berbagai bahasa seperti Bahasa
Arab, Suryani, Pahlewi, Sankrit, dan Yunani. Dia banyak mendalami dan
mempelajari sejarah dan Peradaban Persia Lama dan ia juga gemar membaca
naskah-naskah lama dengan kemampuannya tersebut. Selain itu dalam karirnya, ia
dikenal sebagai juru tulis istana kerajaan. Ketika berusia belasan tahun
keluarganya pindah ke Basrah dan di sini ia memperdalam penguasaannya terhadap
Bahasa Arab. Basrah ketika itu telah merupakan pusat pengetahuan dan kebudayaan
Islam. Di kota ini terdapat pasar Mirbad yang merupakan tumpuan para ulama,
cerdik cendikia dan sastrawan untuk berkumpul dan saling memperbincangkan
falsafah, agama dan ilmu pengetahuan.[1]Pada saat Dinasti Abbasiyah berkuasa Ibnu al-Muqoffa’
memulai gerakan penulisannya dengan menjadi juru tulis kerajaan, yang
ibukotanya berpusat di Baghdad. Akhirnya ia pun pindah ke sana dan melibatkan
diri dengan kaum kerabat al-Manshur, khalifah Abbasiyah, setelah mendapat
posisi penting sebagai juru tulis kerajaan, yang diangkat oleh Gubernur Isa bin
Ali di Kirman dan saat itu juga Ia memeluk agama Islam. Namun pada akhir
hayatnya banyak orang yang menuduhnya sebagai Zindiq. Mereka memfitnah \Ibnu
al-Muqoffa’ zindiq karena mereka mempertanyakan dan mensangsikan tentang
keyakinannya dan keislamannya dalam beragama Islam. Ia harus rela meninggal di
tangan Sufyan bin Mu’awiyah pada tahun 143 H dalam usia 60 tahun, sebagai
konsekuensi atas nilai dan keyakinannya. Dihukum mati atas tuduhan zindiq
sebagai fitnah belaka, orang yang tidak suka terhadapnya.Walaupun akhir
hayatnya begitu mengharukan, namun buah karyanya tidak dapat dilupakan akan
tetapi sebaliknya menjadi legenda untuk semua orang. Buah karyanya begitu
masyhur, hingga sampai saat ini pun kita dapat menikmati karya-karyanya itu.
Karya-karya
Ibnu al-Muqoffa’ sangat banyak namun dikatakan bahwa karyanya yang sampai saat
ini ada, hanya berjumlah lima buah yakni:
Pertama,
Al-Adab al-Shagir atau adab kecil
Kedua,
Al-Adab al-Kabir atau adab besar
Ketiga,
Risalah Al-shahabat atau uraian tentang persahabatan
Keempat,
Al-Yatimah Fi Taat al-Sulthan
Kelima,
Kalilah Wa dimnah
Namun
dari sekian banyak karyanya yang berupa terjemahan, Kalilah Wa Dimnah begitu
masyhur sampai saat ini. Karyanya ini diterjemahkan dari Bahasa Persia ke
Bahasa Arab. Walaupun karyanya tersebut adalah berupa terjemahan dari Baidaba,
namun Ia tidak mengubah isi yang terkandung di dalam karya aslinya. Ia hanya
menyisipkan beberapa cerita-cerita dalam karya tersebut.
Sejarah
asal-usul dan TerjemahanTeks
Kalilah
Wa Dimnah merupakan kitab karya filosof India yakni Baidaba. Karya tersebut
diterjemahkan Ibnu al-Muqoffa’ tanpa mengubah inti arti karya aslinya. Ia
menyisipkan cerita-cerita berbingkai di dalam karya tersebut. Menurut Bahnud
Ibn Sahwan atau dikenal dengan Ali bin Syah al-Farisi, tujuan Baidaba membuat
karya Kalilah Wa Dimnah adalah atas permintaan raja Dabsyalim dan untuk
dipersembahkan kepada raja Dabsyalim, raja India pada abad ke-3 SM.[2]Setelah karya ini selesai dibuat selama beberapa kurun
waktu. Baginda raja Dabsyalim bermaksud memberi penghargaan terhadapnya namun
ia menolak untuk menerima imbalan tersebut. Namun permintaannya kepada sang
raja adalah agar sang raja bisa menjaga dan menyimpan dengan baik kitab
karyanya tersebut agar tidak ada yang mengambilnya.
Pada
pertengahan abad VI atau tepatnya 672 M, Persia dipimpin raja yang bernama
Anusirwan Ibnu Qudaba. Ia mendengar bahwa di India ada karya Kalilah Wa Dimnah
yang terkenal atau masyhur. Karena Ia adalah orang termasuk suka terhadap ilmu
pengetahuan maka timbul dalam hatinya berambisi untuk memilikinya. Akhirnya Ia
memerintahkan Barzawy (seorang dokter istana dan orang kepercayaannya) untuk
pergi ke India, mengambil dan membawa kitab itu ke hadapannya. Rencananya itu
berhasil. Barzawy dapat membawa manuskrip itu kepada raja dan menerjemahkannya
ke dalam bahasa Persia atau bahasa Pahlewi. Kemudian teks ini hilang, namun
untungnya teks ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria, sehingga melalui
inilah karya Ibnu al-Muqoffa’ diterjemahkan dalam bahasa Arab sehingga sampai
sekarang bisa kita baca. Kitab ini ditulis berdasarkan teks
sansekerta berjudul pancatranta. Teks aslinya, pertama kali diterjemahkan ke
dalam Bahasa Tibet. Teks asli dalam bahasa Sanskrit hilang dan tidak pernah
diketemukan. Dan kemudian teks dalam bahasa Tibet pun juga hilang. Yang
dijumpai adalah teks yang terdiri dari lima bagian yang disebut pancatranta, padahal
sebelumnya terdiri dari tujuh bagian. Teks yang tidak lengkap inilah yang
kemudian banyak diterjemahkan ke dalam bahasa India.
Terjemahan-Terjemahan
Teks
Dikatakan
dalam sejarahnya bahwa Kalilah Wa Dimnah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, ada yang menerjemahkan dalam bahasa Tibet, bahasa Parsi, bahasa
Suryani, dan bahasa Arab. Terjemahan-terjemahannya sebagai berikut:
Terjemahan
ke Bahasa Tibet
Hikayat Kalilah Wa Dimnah, pada awal sekali diterjemahkan
ke dalam bahasa Tibet. Tapi sekarang tak ada lagi buku yang cukup berisi semua
cerita itu. Hanya sebagian saja daripada cerita-cerita masih tersua sekarang
dalam bahasa itu. Lalu, Banyak orang yang mengira bahwa karya tersebut sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Disebabkan jangka waktu yang lama s\ehingga
karya (kitab) dalam bahasa tersebut hilang tidak diketemukan.
Terjemahan
ke Bahasa Parsi Tua
Ketika abad ke-6 Masehi, ada seorang raja yang memimpin
Persi, yang bernama Anusyirwan. Ia adalah seorang yang senang akan ilmu
pengetahuan sehingga ia menjadi masyhur karena hal tersebut. Saat Ia mendengar
bahwa ada sebuah karya (kitab) yang menarik dan terkenal di negeri India yang
kitab itu dijaga baik oleh rajanya, akhirnya Ia mengutus Barzuwih seorang
dokter istana sekaligus orang kepercayaannya. Baginda raja untuk mengambil
kitab tersebut dan menerjemahkannya ke Bahasa Parsi. Akhirnya rencana itu
berhasil. Begitulah kronologis hikayat tersebut ke dalam bahasa Parsi.
Terjemahan
ke Bahasa Suryani
Pada awalnya banyak orang yang menyangka bahwa karya
tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Namun kenyataaannya tidak
demikian. Salinan itu ternyata diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani, kira pada
tahun 570 M, oleh seorang pendeta Kristen.Penyalinan itu terbukti, dengan
dinamai Qalilaj dan Damnaj. Boleh jadi demikianlah hikayat itu dinamai oleh
penerjemah ke bahasa Parsi, dan penyalin ke bahasa Arab yang kemudian
mengubahnya jadi Kalilah Wa Dimnah. Orang pandai-pandai Barat telah memperoleh
naskah salinan bahasa Suryani itu, dan telah diterjemahkan ke bahasa
terjemahkan ke bahasa Jerman di Leipzig pada tahun 1876 yang isinya hanya
berisi sepuluh bab saja.[3]
Terjemhan
ke Bahasa Arab
Karya itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Terjemahan dalam bahasa Arab inilah yang terpenting, karena dapat diterjemahkan
ke bahasa Tamil. Sehingga karangan itu dapat diterjemahkan yang terdiri lima
cerita ke dalam bahasa Jawa dan Madura. Dikatakan bahwa dalam bahasa Melayu,
ada empat versi yang masyhur. Pertama ialah versi abad ke-17 yang oleh Wrendly
disebutkan dalam bukunya Tata Bahasa Melayu yang judulnya, “Hikayat Kalilah Wa
Dimnah” dan salinannya dalam bahasa latin ditulis oleh J.G. Gonggrijip pada
tahun 1873. Versi kedua yaitu abad ke-19, kira-kira pada tahun 1835 yang
disalin oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dari bahasa Tamil yang berjudul
Hikayat Pancatanderan. Versi ketiga, yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1942
oleh Ismail Djamil yaitu karya yang langsung diterjemahkan oleh Ibnu
al-Muqoffa’.Para Sejarawan mengadakan penelitian terhadap versi abad ke-17 M.
setelah penelitian itu disimpulkan bahwa karya yang paling dekat dengan versi
Persia adalah yang dikarang oleh Nasrullah tahun 1142, yang diberi judul Dalang
atau Sagala Cerita dan Dongeng. Sebagaimana yang sudah disebutkan, kisah atau
cerita yang masih tersisa dalam karya Baidaba adalah berjumlah lima buah cerita
pokok, sedangkan yang lainnya merupakan cerita-cerita sisipan Ibnu
al-Muqoffah di dalam karya itu. Kelima cerita-cerita utama tersebut adalah
sebagai berikut:[4]
Rangka
pertama: Diceritakan seekor srigala bernama Dimnah memutuskan tali persahabatan
antara Singa dan lembu Syatrabah. Temanya mengenai bahaya fitnah dan hasutan
yang berujung pada pembunuhan dengan motif politk.
Rangka
kedua: Kebersalahan kelompok dhuafa yang berhasil mengalahkan musuh yang kuat
disebabkan mampu menghimpun solidaritas
Rangka
ketiga: menceritakan persoalan yang menyangkut seluk-beluk politik dan siasat
dalam peperangan
Rangka
keempat: Menceritakan bagaimana orang yang bodoh terpedaya oleh perkataan yang
halus dan bujuk rayu.
Rangka
kelima: Menceritkan bahaya dari orang yang kurang pertimbangan dan suka
tergopoh-gopoh dalam melakukan sesuatu.
Pada
cerita-cerita pokok tersebut terdapat cerita-cerita sisipan dari tulisan Ibnu
al-Muqoffah yang berjumlah dua belas dan cerita sisipan tersebut menyampaikan
pesan moral untuk melengkapi cerita pokoknya.
Cerita-cerita
sisipan tersbut sebagai berikut: Hikayat Singa dan Lembu, Hikayat Burung
Merpati dengan Tikus, Hikayat Burung Hantu dengan Gagak, Hikayat Kera dengan
Kura-kura, Hikayat Orang Saleh dengan Cerpelai, Hikayat Tikus dengan Kucing,
Hikayat Raja denga Burung Kakatua, Hikayat Singa denga Srigala yang Saleh,
Hikayat Singa Betina dengan Pemanah, Hikayat Raja Balad dengan Permaisuri
Irah, Hikayat Musafir dengan Tukang Emas, dan Hikayat Anak Raja dan
Kawan-kawannya
Kronologis
Cerita
“Raja
Dabsyalim berkata kepada Baidaba, sang filosof, Buatkan contoh alegoris untukku
tentang dua orang yang saling Sahabat yang saling menjalin cinta kasih,
kemudian ada pihak ketiga seorang pendusta pintar dan licik, yang melakukan
tipu muslihat dan menyulut api fitnah agar hubungan mereka retak dan timbul
permusuhan”Sang filosof Baidaba berkata, “Jika dua orang bersahabat yang saling
mencinta diuji dengan seorang pendusta yang licik dan pintar melakukan tipu
muslihat, maka tidak lama kemudian hubungan mereka akan putus dan hancur
karenanya. Mereka bahkan saling membenci dan memusuhi. Diantara contoh
alegorisnya adalah kisah Singa dan Sapi Banteng.”[5]
Di
atas merupakan sepenggal dialog antara Baidaba dan Raja Dabsyalim. Raja
Dabsyalim meminta sang filosof membuat karya untuknya. Dengan menggunakan
bahasa-bahasa binatang di dalamnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
kisah Kalilah Wa Dimnah adalah cerita berbingkai yang ditokohkan lewat
binatang, dengan tokoh utamanya Srigala bernama Dimnah. Dia iri melihat eratnya
persahabatan antara Raja Hutan Singa dan Lembu Syatrabah. Tekad dan hasratnya
begitu kuat untuk mengadu domba dan memutuskan tali persahabatan dan hubungan
politik di antara keduanya. Dengan melalui tipu muslihatnya dan fitnah halusnya
yang ditebarkan di antara kedua sahabat itu. Semua yang dilakukan Dimnah tidak
lain hanya karena Ia haus akan kekuasaan dan rasa hasudnya belaka. Akhirnya
intrik-intrik yang diterapkan Dimnah berhasil berhasil menghancurkan
persahabatan dan hubungan politik mereka. Ketika Dimnah berhadapan dengan
Singa, mengatakan bahwa Lembu, Syatrabah secara tersembunyi menyimpan taktik
dan rencana untuk merampas kekuasaan dari tangan Singa. Sedangkan ketika Dimnah
berhadapan dengan Syatrabah, melemparkan fitnah bahwa di balik sikap baik Singa
ada ambisi politik yang berbahaya. Dari fitnah yang dilontarkan Dimnah kepada
Syatrabah dan Singa, berhasil membuat keduanya jadi terbakar api kemarahan dan
benci. Dengan kejeniusan Dimnah, keduanya dapat dipengaruhi oleh kata-katanya.
Akhirnya Singa merencanakan intrik-intrik bagaimana membinasakan Syatrabah,
yang sebenarnya teman baik baginya. Dikatakan Dimnah kepada Syatrabah bahwa
Singa ingin membunuhnya karena di dalam hatinya Singa sebenarnya benci kepada
Sytarabah. Karena Sytrabah pun termakan hasutannya akhirnya Syatrabah pun
menyiapkan rencana dan taktik untuk mengadakan perlawanan, sebelum ia dilawan
oleh Singa. Namun sayangnya, rencana Sytrabah gagal karena Dimnah telah
membocorkan rencanaya kepada Singa. Sehingga akhirnya Syatrabah pun diamankan
atau ditangkap dan kemudian dihukum mati oleh polisi penegak hukum. Namun
kemudian, ada kabar yang memberitahukan kepada Singa, bahwa Dimnah telah
menyebarkan fitnah. Semua kata yang digembar-gemborkan di antara kedua sahabat
itu adalah dusta, karena Dimnah mempunyai hati yang busuk, berniat
menghancurkan persahabatan mereka. Dan akhirnya kejahatan Dimnah terbuka
sehingga Singa menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Dimnah ditangkap dan
dijebloskan ke penjara dan dihukum mati sehingga mengakhiri karir politiknya
dan sekaligus hidupnya. Atas Semua kejadian itu, Singa pun menyesal atas
perbuatannya karena terhasut oleh fitnah Dimnah. Singa sedih apalagi ketika
mengenang masa-masa indah bersama Syatrabah. Ia menjadi kesepian karena
semenjak Syatrabah meninggal, tak ada kawan yang sebaik Syatrabah menurutnya. Pada
cerita di atas dengan tema “memutuskan tali persahabatan politik” dapat
dianalisis yang luas tentang politik dan intrik. Misalnya pembicaran berkenaan
dengan niat dan ikhtiar pembunuhuan politik tidak langsung sebagaimana yang
nampak pada percakapan antara Dimnah dengan sahabatanya Kalilah. Dikatakan
bahwa melakukan pembunuhan politik tidak langsung dikemukakan dalam bagian
cerita ini.
Diceritakan
bahwa burung gagak ingin membunuh ular. Gagak sebelumnya mencuri rantai emas
dari pemiliknya kemudian ia taruh di lubang ular. Ketika pemilik rantai emas
tahu rantainya ada di lubang tersebut, ia membunuh ular yang ada di lubang itu.
Cerita lain contohnya, Si Lemah menyelamatkan diri dari ancaman musuh yang kuat
dengan menghimpun solidaritas dan kerjasama, menyiapkan siasat yang cerdas.
Penulis karya ini, berpesan agar kita waspada terhadap tukang fitnah dan kita
harus berusaha menjauhkan diri dari orang jahat, tidak tergesa-gesa mengambil
keputusan, dan masih banyak lainnya pesan yang disampaikan.
Karya,
Titik Temu Dunia Timur dan Barat
Sungguh menarik, walaupun Kalilah Wa dimnah karya saduran
Ibnu Al-Muqoffa’ akan tetapi menjadi tonggak bagi awal kemunculan prosa dalam
arti sesungguhnya dalam sejarah sastra Arab. Setelah dirombak dalam bahasa
Arab, ia diterjemahakan ke dalam bahasa Persia. Setelah diterjemahkan ke dalam
bahasa inilah banyak sastrwan Barat yang terinspirasi dan tertarik terhadap
karya tersebut. Sehingga banyak diterjemahkan ke bahasa Yunani, Prancis,
Spanyol, Italia, Belanda, Jerman, dan Inggris. Pada abad ke-18, La Fontaine,
penyair Perancis terkenal, mendapat inspirasi untuk menulis seperti karya ibnu
al-Muqoffa. Karena melalui karya yang ditulis tentang kisah-kisah binatang,
sebagai sindiran dan kritik terhadap zamannya. Sebagian cerita-cerita yang
ditulis dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada abad
ke-17 dan 18 M di Eropa. Salah seorang filosof Barat abad ke-16 yang juga
tertarik akan karya tersebut adalah Francis Bacon sehingga sebuah esai falsafah
yang berjudul Believe of The Fables. Dia terkesan dan salut terhadap Ibnu
al-Muqoffa’, karena ia sebagai sastrawan dan filosof, memilki pengetahuan yanga
luas tentang politik dan seluk beluk manusia. Selain itu, pada tahun 1570,
Thomas North juga menerjemahkan karya tersebut dengan versi Itali yang diberi
judul The Moral Philoshopy of Dhoni. Sarjanawan Barat pun ada yang menyebutkan
bahwa karya Ibnu al-Muqoffa’ tersebut merupakan jembatan atau titik yang
mempertemukan karya sastra Barat dan Timur.
Di
atas sekilas dapat disimpulkan bahwa karya Abnu al-Muqoffa’ tersebut memberikan
inspirasi bagi para sastrawan Barat seperti yang telah disebutkan. Karena
mungkin mereka mendukung terhadap pemikiran rasionalis Ibnu al-Muqoffa’. Karena
Ia dikenal sebagai filosof rasionalis Mu’tazilah. Ia menempatkan akal dan
pikiran tinggi dalam dirinya sehingga ia menolak faham Jabariyah, aliran
pemikiran Islam yang menolak adanya ikhtiar dalam takdir. Hal ini dapat
terlihat dari kisah yang ditulisnya, melalui kisah orang miskin yang mendapat
keberuntungan atas kedatangan pencuri ke rumahnya. Ketika si pencuri itu masuk
ke rumahnya dan menemukan gandum di rumah tersebut. Sehingga ia melepaskan
bajunya untuk membungkus gandum tersebut. Namun si Miskin tersebut terjaga dari
tidurnya sehingga ia tahu ada pencuri dan ia langsung berteriak. Akhirnya
pencuri tersebut kabur dengan meninggalkan bajunya. Dari situ, si Miskin
mendapat keberuntungan. Ia tidak kehilangan gandum dan ia mendapat baju
sebagai pengganti bajunya yang telah sobek. Jika seandainya si Miskin tidak
berbuat apa-apa ketika tahu ada pencuri, maka ia akan mendapat kemalangan
sekaligus.Pengaruh gaya bahasa yang ditampilkan Ibnu al-Muqoffa’ tercermin pada
karya-karya setelahnya seperti pada karya Kahlil Gibran, al-Nabi dan karya
Niestzsche yaitu Also spracht Zarahustra. Dan masih banyak karya lain
terpengaruh oleh karyanya.
Nilai
dan hikmah Teks
Kalilah Wa Dimnah bentuk fabel yang menggunakan dunia hewan
untuk menjadi aktor utama, setting, dan sarana yang merefleksikan dan
mencerminkan dunia manusia.[6]Walaupun di dalamnya mengandung perumpamaan binatang
tapi itu menggambarkan relitas yang terjadi pada kehidupan manusia. Karya ini
menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat. Di dalamnya
tersurat tontonan akan tetapi tersirat tuntunan. Sehingga untuk mengambil
hikmahnya, tidak hanya sekedar dibaca, namun harus difahami dan dihayati.Kitab
tersebut merupakan sebuah karya yang tidak diapresiasi di kalangan sufi, akan
tetapi sebuah karya yang menjadi insnpirasi bagi kalangan sastrawan dalam satu
genre tertentu.Karya ini merupakan obat pelipur lara untuk kehidupan yang
carut-marut dan mengalami stagnasi. Dalam karya Ibnu al-Muqoffa’ menaruh
pelajaran tentang politik kepada penguasa dan rakyatnya.karena pesan moral yang
diambil dari karya ini adalah pembelajaran etika dan estetika untuk seorang
raja atau pemimpin, dan rakyatnya menjadi baik. Dalam karya tersebut dijelaskan
bagaimana hubungan antara raja atau penguasa dan rakyat tidak harmonis.
Sehingga bisa dipulihkan gejolak social dan politik yang terjadi.Cerita
berbingkai ini mengandung beberapa materi, yaitu: Pertama, Kitab ini dengan
menggunakan lisan binatang dan bukan bahasa manusia, agar bisa dibaca oleh
orang yang suka dengan lelucon dari kalangan muda sehingga memberikan motivasi
untuk menyukai, sebab ini adalah bagian dari tipu muslihat dan taktik yang
digunakan oleh para binatang. Kedua, Kitab ini memperlihatkan daya imajinasi
dan kreativitas para binatang dengan berbagai cara dan bentuk untuk
menyenangkan hati para penguasa. Sehingga semangat dan keinginannya untuk
membaca kitab ini bisa bertambah. Ketiga, kitab ini dirancang sedemikian rupa
agar bisa dimanfaatkan oleh para penguasa dan orang-orang awam. Keempat, karya
ini memiliki tujuan khusus yang hanya diketahui sang filosof agung. Kandungan
karya ini begitu luas dan tinggi, memiliki nilai etika dan estetika, pesan
moral dalam bentuk lelucon, yang menggunakan bahasa binatang namun mengandung
hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik.
Pentasbihan
Dari sekilas penguraian di atas, yakni prosa Kalilah Wa
Dimnaj oleh Ibnu al-Muqoffa’dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwa karya
tersebut begitu masyhur dibanding dengan karya-karya sezamannya. Kitab itu juga
menjadi inspirasi bagi karya-karya sastrawan sesudahnya, baik Timur maupun
Barat. Prosa berbingkai cerita yang mengandung etika dan estetika. Walaupun
karya tersebut merupakan saduran akan tetapi tidak mengubah isi, makna dan
kandungan dari penulis aslinya. Ibnu Muqoffa’ mengemasnya menjadi lebih menarik
dengan cerita-cerita sisipannya. Sebuah karya sastra prosa yang di dalamnya
mengundang tontonan akan tetapi mengandung tuntunan yang dapat kita petik
hikmah di baliknya. Dengan tidak hanya membacanya semata akan tetapi melalui
penghayatan dan pemahaman yang dalam untuk memaknainya yang di dalamnya menjadi
alat untuk mempertimbangkannya. Hal ini juga kiranya bisa menjadi dorongan dan
inspirasi bagi semua kalangan, untuk menciptakan sebuah karya sastra. Kemudian
bisa mengembangkan karya sastranya sehingga bisa memperkaya khazanah Islam di
masa peradaban kemudian. Kita juga bisa melahirkan sebuah karya seperti
demikian, terkesan hanya tersurat tontonan akan tetapi sebenarnya tersirat
tuntunan yang memperkaya khazanah Sastra Islam.
DAFTAR
BACAAN
Djamil,
Ismail, Hikayat Kalilah Wa Dimnah. Jakarta: Balai Pustaka, 1998
Baidaba,
Hikayat Kalilah Wa Dimnah: Fabel-fabel Alegoris, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2004
Ibn
al Muqoffa’, Kalilah Wa Dimnah: Fabel-fabel kearifan Yogyakarta: Pustaka Sufi,
2004
Hadi.
WM, Abdul. 2007. “Ibnu al-Muqoffa’ dan Karyanya Kalilah Wa Dimnah”, diktat mata
kuliah Seni dan Sastra Islam Semester 3, Jakarta: ICAS-Paramadina
No comments:
Post a Comment