Saturday, January 14, 2012

Kalilah wa Dimmah



Pada awal abad ke-8 M, dalam dunia sejarah sastra Arab, sesungguhnya kegiatan menulis prosa sudah dimulai saat dinasti Umayah berkuasa. Ini dapat dibuktikan dengan adanya karya besar Ali bi Abi Thalib, yakni Nahj Al Balaghah. Karya besar ini sebenarnya berbentuk prosa akan tetapi orang-orang Arab tidak berpandangan demikian. Prosa tidak begitu berkembang disebabkan, pada saat Dinasti Umayyah berkuasa, para penguasa terlalu menempatkan dan memposisikan bangsa Arab dalam kegiatan di bidang sastra dan intelektual sehingga mereka menganggap bahwa sastra Arab adalah sastra yang paling unggul dibanding dengan sastra-sastra lainnya. Akhirnya penulisan prosa tidak begitu berkembang karena mereka lebih berminat  dan senang untuk menulis puisi dari pada prosa. Namun keadaan ini berubah saat peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke tangan Dinasti Abbasiyah. Pada saat itulah prosa mengalami perkembangan dan kemajuan. Para khalifah Abbasiyah mulai memberikan kesempatan dan peluang kepada orang-orang non-Arab (‘Ajm) untuk ikut andil dalam kegiatan penulisan di bidang sastra dan intelektual. Hal ini tidak seperti yang terjadi pada masa dinasti Umayyah berkuasa, yang hanya memprioritaskan orang-orang Arab dalam kegiatan di bidang sastra. Pada masa Abbasiyah, penulisan di bidang sastra mulai melibatkan orang non-Arab, yang sudah menguasai bahasa Arab, khususnya penulis Persia karena mereka juga mempunyai tradisi lama dalam sastra, khususnya dalam penulisan prosa yang kemungkinan dapat terus mengembangkan prosa saat itu. Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, penulisan prosa berkembang begitu lambat karena hanya sebatas merekam, mencatat, dan mengumpulkan hadist-hadist Nabi serta peperangan yang terjadi saat itu. Penulisan prosa mulai berkembang pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Disebutkan bahwa sepanjang dinasti Abbasiyah, ada tiga jenis prosa yang berkembang saat itu. Yaitu, al-Qishas (kisah), al-Maqamat, dan al-Tawq’at. Pertama al-Qishas adalah genre sastra yang belum pernah dikenal dalam tradisi jahiliyah walaupun mereka mempunyai cerita-cerita yang disampaikan secara lisan. Al-Qur’an sangat mendorong dan mempengaruhi karya ini. Misalnya kisah-kisah yang tercantum di dalamnya yakni, Qisah al-Anbiya atau kisah para Nabi, ada pula cerita berbingkai seperti Kalilah Wa Dimnah, dll. Kedua, al-Maqamat yaitu himpunan cerita-cerita pendek. Ketiga, al-Tawq’at yaitu genre yang digemari hingga saat ini dan merupakan karangan yang ringkas dan indah bahasanya.Itulah tadi jenis-jenis prosa yang tidak dibahas secara detail. Namun dalam tulisan ini sedikit banyak hanya akan membahas salah satu contoh jenis prosa pertama yakni al-Qishas yang ditulis dalam bentuk fabel atau cerita berbingkai yaitu Kalilah Wa Dimnah oleh Ibnu Al-Muqoffa’. Walaupun karya tersebut adalah terjemahan dari karya Baidaba, filosof India, namun Ibnu Al-Muqoffa’ menjadikan karya tersebut begitu masyhur tanpa mengubah makna yang terkandung di dalam karya aslinya. Hal ini disebabkan relevansi karyanya begitu menonjol dibanding karya penulis-penulis lain sezamannya. Karya tersebut begitu berpengaruh terhadap perkembangan sastra Arab dan juga terhadap sastra dunia. Karya ini merupakan prosa yang menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat dan di dalamnya tidak hanya tersurat bacaan akan tetapi juga tersirat tuntunan. Dalam tulisan ini terdiri dari beberapa bagian. Pertama, pendahuluan. Pada bagian yang kedua, pembahasan yang terdiri; sejarah hidup Ibnu al-Muqoffa’ beserta karya-karyanya, sejarah teks, sejarah terjemahan, kronologis cerita, Karya titik temu dunia Timur dan Barat. Pada bagian terakhir, berupa kesimpulan.

Sejarah Hidup Ibnu Al-Muqoffa’ dan karya-karyanya

Ibnu al-Muqoffa’ hidup dan tumbuh pada saat terjadi pergolakan dan konfilk di masyarakat. Saat itu terjadi peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayah ke tangan Dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan terjadi banyak konflik. Maka pada saat itu keadaan politik di dunia Islam carut-marut dengan kondisi tersebut. Kehidupan umat Islam dan masyarakat Arab terus mengalami pergolakan yang berkepanjangan sehingga akhirnya Dinasti Abbasiyah dapat meraih tampuk kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Ibnu al-Muqoffa’ dilahirkan di sebuah kampung dekat Shiraz, Persia, sekitar tahun 80 H. Ia dilahirkan dari dua darah kebudayaan. Ayahnya, Dzazuwih berdarah Persia dan ibunya berasal dari keturunan bangsa Arab. Maka dari sinilah ia banyak mewarisi dua kultur tersebut. Sehingga ia bertekad untuk menjembatani dari dua peradaban tersebut, yakni peradaban Persia dan Arab.
Sebenarnya nama Ibnu al-Muqoffa’ yang asli adalah Ruzbah. Ketika ia masih muda dinamakan Kunyah Abu Amru. Namun setelah masuk Islam Ia bernama Abdullah. Sedangkan nama Ibnu al-Muqoffa’ adalah julukan bagi ayahnya. Dazuwih adalah ayahnya yang beragama Majuzi. Ayahnya bekerja dan mengabdi kepada Gubernur Hajjaj Yusuf al-Thaqafi, sebagai pemungut pajak. Namun setelah lama bekerja, ayahnya tertangkap basah menyalahkangunakan dana hasil pemungutan pajak. Sehingga ia dihukum dera tangannya sampai lumpuh. Maka mulai saat itulah Dazuwih dijuluki al-Muqoffa’ yang berarti Si Lumpuh. Nama itu kemudian disandarkan kepada Ibnu al-Muqoffa’.Sejarah kehidupannya tidak banyak diketahui akan tetapi sedikit banyak disebutkan dalam beberapa literarur bahwa Ibnu al-Muqoffa’ dikenal sebagai sosok yang memilki kepribadian yang agung dan terpuji, luas pengetahuannya, dan ia juga dikenal sebagai pribadi yang terpadu dan memiliki latar budaya Islam yang luas serta seorang pemikir yang menjembatani antara perdaban Persia dan Arab. Ia juga menguasai berbagai bahasa seperti Bahasa Arab, Suryani, Pahlewi, Sankrit, dan Yunani. Dia banyak mendalami dan mempelajari sejarah dan Peradaban Persia Lama dan ia juga gemar membaca naskah-naskah lama dengan kemampuannya tersebut. Selain itu dalam karirnya, ia dikenal sebagai juru tulis istana kerajaan. Ketika berusia belasan tahun keluarganya pindah ke Basrah dan di sini ia memperdalam penguasaannya terhadap Bahasa Arab. Basrah ketika itu telah merupakan pusat pengetahuan dan kebudayaan Islam. Di kota ini terdapat pasar Mirbad yang merupakan tumpuan para ulama, cerdik cendikia dan sastrawan untuk berkumpul dan saling memperbincangkan falsafah, agama dan ilmu pengetahuan.[1]Pada saat Dinasti Abbasiyah berkuasa Ibnu al-Muqoffa’ memulai gerakan penulisannya dengan menjadi juru tulis kerajaan, yang ibukotanya berpusat di Baghdad. Akhirnya ia pun pindah ke sana dan melibatkan diri dengan kaum kerabat al-Manshur, khalifah Abbasiyah, setelah mendapat posisi penting sebagai juru tulis kerajaan, yang diangkat oleh Gubernur Isa bin Ali di Kirman dan saat itu juga Ia memeluk agama Islam. Namun pada akhir hayatnya banyak orang yang menuduhnya sebagai Zindiq. Mereka memfitnah \Ibnu al-Muqoffa’ zindiq karena mereka mempertanyakan dan mensangsikan tentang keyakinannya dan keislamannya dalam beragama Islam. Ia harus rela meninggal di tangan Sufyan bin Mu’awiyah pada tahun 143 H dalam usia 60 tahun, sebagai konsekuensi atas nilai dan keyakinannya. Dihukum mati atas tuduhan zindiq sebagai fitnah belaka, orang yang tidak suka terhadapnya.Walaupun akhir hayatnya begitu mengharukan, namun buah karyanya tidak dapat dilupakan akan tetapi sebaliknya menjadi legenda untuk semua orang. Buah karyanya begitu masyhur, hingga sampai saat ini pun kita dapat menikmati karya-karyanya itu.
Karya-karya Ibnu al-Muqoffa’ sangat banyak namun dikatakan bahwa karyanya yang sampai saat ini ada, hanya berjumlah lima buah yakni:
Pertama, Al-Adab al-Shagir atau adab kecil
Kedua, Al-Adab al-Kabir atau adab besar
Ketiga, Risalah Al-shahabat atau uraian tentang persahabatan
Keempat, Al-Yatimah Fi Taat al-Sulthan
Kelima, Kalilah Wa dimnah
Namun dari sekian banyak karyanya yang berupa terjemahan, Kalilah Wa Dimnah begitu masyhur sampai saat ini. Karyanya ini diterjemahkan dari Bahasa Persia ke Bahasa Arab. Walaupun karyanya tersebut adalah berupa terjemahan dari Baidaba, namun Ia tidak mengubah isi yang terkandung di dalam karya aslinya. Ia hanya menyisipkan beberapa cerita-cerita dalam karya tersebut.

Sejarah  asal-usul dan TerjemahanTeks

Kalilah Wa Dimnah merupakan kitab karya filosof India yakni Baidaba. Karya tersebut diterjemahkan Ibnu al-Muqoffa’ tanpa mengubah inti arti karya aslinya. Ia menyisipkan cerita-cerita berbingkai di dalam karya tersebut. Menurut Bahnud Ibn Sahwan atau dikenal dengan Ali bin Syah al-Farisi, tujuan Baidaba membuat karya Kalilah Wa Dimnah adalah atas permintaan raja Dabsyalim dan untuk dipersembahkan kepada raja Dabsyalim, raja India pada abad ke-3 SM.[2]Setelah karya ini selesai dibuat selama beberapa kurun waktu. Baginda raja Dabsyalim bermaksud memberi penghargaan terhadapnya namun ia menolak untuk menerima imbalan tersebut. Namun permintaannya kepada sang raja adalah agar sang raja bisa menjaga dan menyimpan dengan baik kitab karyanya tersebut agar tidak ada yang mengambilnya.
Pada pertengahan abad VI atau tepatnya 672 M, Persia dipimpin raja yang bernama Anusirwan Ibnu Qudaba. Ia mendengar bahwa di India ada karya Kalilah Wa Dimnah yang terkenal atau masyhur. Karena Ia adalah orang termasuk suka terhadap ilmu pengetahuan maka timbul dalam hatinya berambisi untuk memilikinya. Akhirnya Ia memerintahkan Barzawy (seorang dokter istana dan orang kepercayaannya) untuk pergi ke India, mengambil dan membawa kitab itu ke hadapannya. Rencananya itu berhasil. Barzawy dapat membawa manuskrip itu kepada raja dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Persia atau bahasa Pahlewi. Kemudian teks ini hilang, namun untungnya teks ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria, sehingga melalui inilah karya Ibnu al-Muqoffa’ diterjemahkan dalam bahasa Arab sehingga sampai sekarang bisa kita baca.   Kitab ini ditulis berdasarkan teks sansekerta berjudul pancatranta. Teks aslinya, pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Tibet. Teks asli dalam bahasa Sanskrit hilang dan tidak pernah diketemukan. Dan kemudian teks dalam bahasa Tibet pun juga hilang. Yang dijumpai adalah teks yang terdiri dari lima bagian yang disebut pancatranta, padahal sebelumnya terdiri dari tujuh bagian. Teks yang tidak lengkap inilah yang kemudian banyak diterjemahkan ke dalam bahasa India.

Terjemahan-Terjemahan Teks

Dikatakan dalam sejarahnya bahwa Kalilah Wa Dimnah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, ada yang menerjemahkan dalam bahasa Tibet, bahasa Parsi, bahasa Suryani, dan bahasa Arab. Terjemahan-terjemahannya sebagai berikut:
Terjemahan ke Bahasa Tibet
Hikayat Kalilah Wa Dimnah, pada awal sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Tibet. Tapi sekarang tak ada lagi buku yang cukup berisi semua cerita itu. Hanya sebagian saja daripada cerita-cerita masih tersua sekarang dalam bahasa itu. Lalu, Banyak orang yang mengira bahwa karya tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Disebabkan jangka waktu yang lama s\ehingga karya (kitab) dalam bahasa tersebut hilang tidak diketemukan.

Terjemahan ke Bahasa Parsi Tua
Ketika abad ke-6 Masehi, ada seorang raja yang memimpin Persi, yang bernama Anusyirwan. Ia adalah seorang  yang senang akan ilmu pengetahuan sehingga ia menjadi masyhur karena hal tersebut. Saat Ia mendengar bahwa ada sebuah karya (kitab) yang menarik dan terkenal di negeri India yang kitab itu dijaga baik oleh rajanya, akhirnya Ia mengutus Barzuwih seorang dokter istana sekaligus orang kepercayaannya. Baginda raja untuk mengambil kitab tersebut dan menerjemahkannya ke Bahasa Parsi. Akhirnya rencana itu berhasil. Begitulah kronologis hikayat tersebut ke dalam bahasa Parsi.

Terjemahan ke Bahasa Suryani
Pada awalnya banyak orang yang menyangka bahwa karya tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Namun kenyataaannya tidak demikian. Salinan itu ternyata diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani, kira pada tahun 570 M, oleh seorang pendeta Kristen.Penyalinan itu terbukti, dengan dinamai Qalilaj dan Damnaj. Boleh jadi demikianlah hikayat itu dinamai oleh penerjemah ke bahasa Parsi, dan penyalin ke bahasa Arab yang kemudian mengubahnya jadi Kalilah Wa Dimnah. Orang pandai-pandai Barat telah memperoleh naskah salinan bahasa Suryani itu, dan telah diterjemahkan ke bahasa terjemahkan ke bahasa Jerman di Leipzig pada tahun 1876 yang isinya hanya berisi sepuluh bab saja.[3]

Terjemhan ke Bahasa Arab
Karya itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Terjemahan dalam bahasa Arab inilah yang terpenting, karena dapat diterjemahkan ke bahasa Tamil. Sehingga karangan itu dapat diterjemahkan yang terdiri lima cerita ke dalam bahasa Jawa dan Madura. Dikatakan bahwa dalam bahasa Melayu, ada empat versi yang masyhur. Pertama ialah versi abad ke-17 yang oleh Wrendly disebutkan dalam bukunya Tata Bahasa Melayu yang judulnya, “Hikayat Kalilah Wa Dimnah” dan salinannya dalam bahasa latin ditulis oleh J.G. Gonggrijip pada tahun 1873. Versi kedua yaitu abad ke-19, kira-kira pada tahun 1835 yang disalin oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dari bahasa Tamil yang berjudul Hikayat Pancatanderan. Versi ketiga, yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1942 oleh Ismail Djamil yaitu karya yang langsung diterjemahkan oleh Ibnu al-Muqoffa’.Para Sejarawan mengadakan penelitian terhadap versi abad ke-17 M. setelah penelitian itu disimpulkan bahwa karya yang paling dekat dengan versi Persia adalah yang dikarang oleh Nasrullah tahun 1142, yang diberi judul Dalang atau Sagala Cerita dan Dongeng. Sebagaimana yang sudah disebutkan, kisah atau cerita yang masih tersisa dalam karya Baidaba adalah berjumlah lima buah cerita pokok, sedangkan  yang lainnya merupakan cerita-cerita sisipan  Ibnu al-Muqoffah di dalam karya itu. Kelima cerita-cerita utama tersebut adalah sebagai berikut:[4]

Rangka pertama: Diceritakan seekor srigala bernama Dimnah memutuskan tali persahabatan antara Singa dan lembu Syatrabah. Temanya mengenai bahaya fitnah dan hasutan yang berujung pada pembunuhan dengan motif politk.
Rangka kedua: Kebersalahan kelompok dhuafa yang berhasil mengalahkan musuh yang kuat disebabkan mampu menghimpun solidaritas
Rangka ketiga: menceritakan persoalan yang menyangkut seluk-beluk politik dan siasat dalam peperangan
Rangka keempat: Menceritakan bagaimana orang yang bodoh terpedaya oleh perkataan yang halus dan bujuk rayu.
Rangka kelima: Menceritkan bahaya dari orang yang kurang pertimbangan dan suka tergopoh-gopoh dalam melakukan sesuatu.
Pada cerita-cerita pokok tersebut terdapat cerita-cerita sisipan dari tulisan Ibnu al-Muqoffah yang berjumlah dua belas dan cerita sisipan tersebut menyampaikan pesan moral untuk melengkapi cerita pokoknya.
Cerita-cerita sisipan tersbut sebagai berikut: Hikayat Singa dan Lembu, Hikayat Burung Merpati dengan Tikus, Hikayat Burung Hantu dengan Gagak, Hikayat Kera dengan Kura-kura, Hikayat Orang Saleh dengan Cerpelai, Hikayat Tikus dengan Kucing, Hikayat Raja denga Burung Kakatua, Hikayat Singa denga Srigala yang Saleh, Hikayat Singa Betina dengan Pemanah, Hikayat  Raja Balad dengan Permaisuri Irah, Hikayat Musafir dengan Tukang Emas, dan Hikayat Anak Raja dan Kawan-kawannya

Kronologis Cerita
“Raja Dabsyalim berkata kepada Baidaba, sang filosof, Buatkan contoh alegoris untukku tentang dua orang yang saling Sahabat yang saling menjalin cinta kasih, kemudian ada pihak ketiga seorang pendusta pintar dan licik, yang melakukan tipu muslihat dan menyulut api fitnah agar hubungan mereka retak dan timbul permusuhan”Sang filosof Baidaba berkata, “Jika dua orang bersahabat yang saling mencinta diuji dengan seorang pendusta yang licik dan pintar melakukan tipu muslihat, maka tidak lama kemudian hubungan mereka akan putus dan hancur karenanya. Mereka bahkan saling membenci dan memusuhi. Diantara contoh alegorisnya adalah kisah Singa dan Sapi Banteng.”[5]
Di atas merupakan sepenggal dialog antara Baidaba dan Raja Dabsyalim. Raja Dabsyalim meminta sang filosof membuat karya untuknya. Dengan menggunakan bahasa-bahasa binatang di dalamnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kisah Kalilah Wa Dimnah adalah cerita berbingkai yang ditokohkan lewat binatang, dengan tokoh utamanya Srigala bernama Dimnah. Dia iri melihat eratnya persahabatan antara Raja Hutan Singa dan Lembu Syatrabah. Tekad dan hasratnya begitu kuat untuk mengadu domba dan memutuskan tali persahabatan dan hubungan politik di antara keduanya. Dengan melalui tipu muslihatnya dan fitnah halusnya yang ditebarkan di antara kedua sahabat itu. Semua yang dilakukan Dimnah tidak lain hanya karena Ia haus akan kekuasaan dan rasa hasudnya belaka. Akhirnya intrik-intrik yang diterapkan Dimnah berhasil berhasil menghancurkan persahabatan dan hubungan politik mereka. Ketika Dimnah berhadapan dengan Singa, mengatakan bahwa Lembu, Syatrabah secara tersembunyi menyimpan taktik dan rencana untuk merampas kekuasaan dari tangan Singa. Sedangkan ketika Dimnah berhadapan dengan Syatrabah, melemparkan fitnah bahwa di balik sikap baik Singa ada ambisi politik yang berbahaya. Dari fitnah yang dilontarkan Dimnah kepada Syatrabah dan Singa, berhasil membuat keduanya jadi terbakar api kemarahan dan benci. Dengan kejeniusan Dimnah, keduanya dapat dipengaruhi oleh kata-katanya. Akhirnya Singa merencanakan intrik-intrik bagaimana membinasakan Syatrabah, yang sebenarnya teman baik baginya. Dikatakan Dimnah kepada Syatrabah bahwa Singa ingin membunuhnya karena di dalam hatinya Singa sebenarnya benci kepada Sytarabah. Karena Sytrabah pun termakan hasutannya akhirnya Syatrabah pun menyiapkan rencana dan taktik untuk mengadakan perlawanan, sebelum ia dilawan oleh Singa. Namun sayangnya, rencana Sytrabah gagal karena Dimnah telah membocorkan rencanaya kepada Singa. Sehingga akhirnya Syatrabah pun diamankan atau ditangkap dan kemudian dihukum mati oleh polisi penegak hukum. Namun kemudian, ada kabar yang memberitahukan kepada Singa, bahwa Dimnah telah menyebarkan fitnah. Semua kata yang digembar-gemborkan di antara kedua sahabat itu adalah dusta, karena Dimnah mempunyai hati yang busuk, berniat menghancurkan persahabatan mereka. Dan akhirnya kejahatan Dimnah terbuka sehingga Singa menjatuhkan hukuman berat kepadanya. Dimnah ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan dihukum mati sehingga mengakhiri karir politiknya dan sekaligus hidupnya. Atas Semua kejadian itu, Singa pun menyesal atas perbuatannya karena terhasut oleh fitnah Dimnah. Singa sedih apalagi ketika mengenang masa-masa indah bersama Syatrabah. Ia menjadi kesepian karena semenjak Syatrabah meninggal, tak ada kawan yang sebaik Syatrabah menurutnya. Pada cerita di atas dengan tema “memutuskan tali persahabatan politik” dapat dianalisis yang luas tentang politik dan intrik. Misalnya pembicaran berkenaan dengan niat dan ikhtiar pembunuhuan politik tidak langsung sebagaimana yang nampak pada percakapan antara Dimnah dengan sahabatanya Kalilah. Dikatakan bahwa melakukan pembunuhan politik tidak langsung dikemukakan dalam bagian cerita ini.
Diceritakan bahwa burung gagak ingin membunuh ular. Gagak sebelumnya mencuri rantai emas dari pemiliknya kemudian ia taruh di lubang ular. Ketika pemilik rantai emas tahu rantainya ada di lubang tersebut, ia membunuh ular yang ada di lubang itu. Cerita lain contohnya, Si Lemah menyelamatkan diri dari ancaman musuh yang kuat dengan menghimpun solidaritas dan kerjasama, menyiapkan siasat yang cerdas. Penulis karya ini, berpesan agar kita waspada terhadap tukang fitnah dan kita harus berusaha menjauhkan diri dari orang jahat, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, dan masih banyak lainnya pesan yang disampaikan. 

Karya, Titik Temu Dunia Timur dan Barat
Sungguh menarik, walaupun Kalilah Wa dimnah karya saduran Ibnu Al-Muqoffa’ akan tetapi menjadi tonggak bagi awal kemunculan prosa dalam arti sesungguhnya dalam sejarah sastra Arab. Setelah dirombak dalam bahasa Arab, ia diterjemahakan ke dalam bahasa Persia. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa inilah banyak sastrwan Barat yang terinspirasi dan tertarik terhadap karya tersebut. Sehingga banyak diterjemahkan ke bahasa Yunani, Prancis, Spanyol, Italia, Belanda, Jerman, dan Inggris. Pada abad ke-18, La Fontaine, penyair Perancis terkenal, mendapat inspirasi untuk menulis seperti karya ibnu al-Muqoffa. Karena melalui karya yang ditulis tentang kisah-kisah binatang, sebagai sindiran dan kritik terhadap zamannya. Sebagian cerita-cerita yang ditulis dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada abad ke-17 dan 18 M di Eropa. Salah seorang filosof Barat abad ke-16 yang juga tertarik akan karya tersebut adalah Francis Bacon sehingga sebuah esai falsafah yang berjudul Believe of The Fables. Dia terkesan dan salut terhadap Ibnu al-Muqoffa’, karena ia sebagai sastrawan dan filosof, memilki pengetahuan yanga luas tentang politik dan seluk beluk manusia. Selain itu, pada tahun 1570, Thomas North juga menerjemahkan karya tersebut dengan versi Itali yang diberi judul The Moral Philoshopy of Dhoni. Sarjanawan Barat pun ada yang menyebutkan bahwa karya Ibnu al-Muqoffa’ tersebut merupakan jembatan atau titik yang mempertemukan karya sastra Barat dan Timur.
Di atas sekilas dapat disimpulkan bahwa karya Abnu al-Muqoffa’ tersebut memberikan inspirasi bagi para sastrawan Barat seperti yang telah disebutkan. Karena mungkin mereka mendukung terhadap pemikiran rasionalis Ibnu al-Muqoffa’. Karena Ia dikenal sebagai filosof rasionalis Mu’tazilah. Ia menempatkan akal dan pikiran tinggi dalam dirinya sehingga ia menolak faham Jabariyah, aliran pemikiran Islam yang menolak adanya ikhtiar dalam takdir. Hal ini dapat terlihat dari kisah yang ditulisnya, melalui kisah orang miskin yang mendapat keberuntungan atas kedatangan pencuri ke rumahnya. Ketika si pencuri itu masuk ke rumahnya dan menemukan gandum di rumah tersebut. Sehingga ia melepaskan bajunya untuk membungkus gandum tersebut. Namun si Miskin tersebut terjaga dari tidurnya sehingga ia tahu ada pencuri dan ia langsung berteriak. Akhirnya pencuri tersebut kabur dengan meninggalkan bajunya. Dari situ, si Miskin mendapat  keberuntungan. Ia tidak kehilangan gandum dan ia mendapat baju sebagai pengganti bajunya yang telah sobek. Jika seandainya si Miskin tidak berbuat apa-apa ketika tahu ada pencuri, maka ia akan mendapat kemalangan sekaligus.Pengaruh gaya bahasa yang ditampilkan Ibnu al-Muqoffa’ tercermin pada karya-karya setelahnya seperti pada karya Kahlil Gibran, al-Nabi dan karya Niestzsche yaitu Also spracht Zarahustra. Dan masih banyak karya lain terpengaruh oleh karyanya.


Nilai dan hikmah Teks
Kalilah Wa Dimnah bentuk fabel yang menggunakan dunia hewan untuk menjadi aktor utama, setting, dan sarana yang merefleksikan dan mencerminkan dunia manusia.[6]Walaupun di dalamnya mengandung perumpamaan binatang tapi itu menggambarkan relitas yang terjadi pada kehidupan manusia. Karya ini menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat. Di dalamnya tersurat tontonan akan tetapi tersirat tuntunan. Sehingga untuk mengambil hikmahnya, tidak hanya sekedar dibaca, namun harus difahami dan dihayati.Kitab tersebut merupakan sebuah karya yang tidak diapresiasi di kalangan sufi, akan tetapi sebuah karya yang menjadi insnpirasi bagi kalangan sastrawan dalam satu genre tertentu.Karya ini merupakan obat pelipur lara untuk kehidupan yang carut-marut dan mengalami stagnasi. Dalam karya Ibnu al-Muqoffa’ menaruh pelajaran tentang politik kepada penguasa dan rakyatnya.karena pesan moral yang diambil dari karya ini adalah pembelajaran etika dan estetika untuk seorang raja atau pemimpin, dan rakyatnya menjadi baik. Dalam karya tersebut dijelaskan bagaimana hubungan antara raja atau penguasa dan rakyat tidak harmonis. Sehingga bisa dipulihkan gejolak social dan politik yang terjadi.Cerita berbingkai ini mengandung beberapa materi, yaitu: Pertama, Kitab ini dengan menggunakan lisan binatang dan bukan bahasa manusia, agar bisa dibaca oleh orang yang suka dengan lelucon dari kalangan muda sehingga memberikan motivasi untuk menyukai, sebab ini adalah bagian dari tipu muslihat dan taktik yang digunakan oleh para binatang. Kedua, Kitab ini memperlihatkan daya imajinasi dan kreativitas para binatang dengan berbagai cara dan bentuk untuk menyenangkan hati para penguasa. Sehingga semangat dan keinginannya untuk membaca kitab ini bisa bertambah. Ketiga, kitab ini dirancang sedemikian rupa agar bisa dimanfaatkan oleh para penguasa dan orang-orang awam. Keempat, karya ini memiliki tujuan khusus yang hanya diketahui sang filosof agung. Kandungan karya ini begitu luas dan tinggi, memiliki nilai etika dan estetika, pesan moral dalam bentuk lelucon, yang menggunakan bahasa binatang namun mengandung hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik.

Pentasbihan
Dari sekilas penguraian di atas, yakni prosa Kalilah Wa Dimnaj oleh Ibnu al-Muqoffa’dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwa karya tersebut begitu masyhur dibanding dengan karya-karya sezamannya. Kitab itu juga menjadi inspirasi bagi karya-karya sastrawan sesudahnya, baik Timur maupun Barat. Prosa berbingkai cerita yang mengandung etika dan estetika. Walaupun karya tersebut merupakan saduran akan tetapi tidak mengubah isi, makna dan kandungan dari penulis aslinya. Ibnu Muqoffa’ mengemasnya menjadi lebih menarik dengan cerita-cerita sisipannya. Sebuah karya sastra prosa yang di dalamnya mengundang tontonan akan tetapi mengandung tuntunan yang dapat kita petik hikmah di baliknya. Dengan tidak hanya membacanya semata akan tetapi melalui penghayatan dan pemahaman yang dalam untuk memaknainya yang di dalamnya menjadi alat untuk mempertimbangkannya. Hal ini juga kiranya bisa menjadi dorongan dan inspirasi bagi semua kalangan, untuk menciptakan sebuah karya sastra. Kemudian bisa mengembangkan karya sastranya sehingga bisa memperkaya khazanah Islam di masa peradaban kemudian. Kita juga bisa melahirkan sebuah karya seperti demikian, terkesan hanya tersurat tontonan akan tetapi sebenarnya tersirat tuntunan yang memperkaya khazanah Sastra Islam.

DAFTAR BACAAN
Djamil, Ismail, Hikayat Kalilah Wa Dimnah. Jakarta: Balai Pustaka, 1998
Baidaba, Hikayat Kalilah Wa Dimnah: Fabel-fabel Alegoris, Jakarta: Pustaka Hidayah, 2004
Ibn al Muqoffa’, Kalilah Wa Dimnah: Fabel-fabel kearifan Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004
Hadi. WM, Abdul. 2007. “Ibnu al-Muqoffa’ dan Karyanya Kalilah Wa Dimnah”, diktat mata kuliah Seni dan Sastra Islam Semester 3, Jakarta: ICAS-Paramadina




[1] Abdul Hadi. WM. 2007. Diktat Mata Kuilah Semester 3 Ibnu al Muqoffa: Kalilah Wa Dimnah.Jakarta: ICAS-Paramadina.
[2] Ibid.
[3] Ismail Djamil.1988. Hikayat Kalilah Wa Dimnah. Jakarta: balai pustaka. Hal 11.
[4] Opcit.
[5] Baidaba. Hikayat Kalilah Wa Dimnah: Fabel-fabel Alegoris, Hal 64.
[6] Ibnu al-Muqoffa’.2004. Kalilah Wa Dimnah. Jogjakarta: Pustaka Sufi. Hal.Xii.

No comments:

.